Warisan ulama kita seperti sumur di mana kita bisa memuaskan dahaga spiritual dan intelektual. Kisah hidup mereka mengandung nilai-nilai yang patut diteladani seperti keberanian, ketekunan dan ketakwaan kepada Allah SWT. Ada banyak permata keteladanan berharga ulama dari wilayah Nusantara. Salah satunya adalah Haji Abdullah Malik Abdul Karim Amrullah atau biasa dipanggil Buya Hamka.
Lahir di Minangkabau pada 17 Februari 1908, Buya Hamka dikenal sebagai seorang ulama, penulis, novelis, reformis, aktivis, dan cendikiawan. Kakek buyut dan kakeknya adalah penganut ajaran Sufistik, sementara ayahnya seorang modernis Islam pada masanya, dan juga seorang pendukung setia terhadap ajaran-ajaran klasik.
Latar belakangnya yang begitu beragam membuatnya menyadari bahwa perselisihan bercorak keagamaan di seputar topik perbedaan, yang marak terjadi pada saat itu, harus segera ditangani. Pemahaman ini mendorong Hamka untuk mengambil jalan tengah dan menyebarkan pandangan tasawuf yang lebih modern dan telah direvitalisasi.
Moderasi beragama merupakan prinsip yang sering diusung Buya Hamka bagi masyarakat Muslim. Ia menyeimbangkan antara akal dan wahyu, antara ambisi pribadi dan tanggung jawab bersama, antara dunia dan akhirat, antara kekurangan pengetahuan agama dan fanatisme agama.
Menarik untuk dicatat bahwa Buya Hamka sering dipandang sebagai ‘pensintesis’, sosok yang memiliki kepiawaian dalam mengintegrasikan dua atau lebih elemen yang ada, untuk menghasilkan hal baru. Sebagaimana ditulis Khairudin Aljunied, dalam Hamka and Islam: Cosmopolitan Reform in the Malay World (h.5), Buya Hamka ‘menyatukan tradisi intelektual Muslim yang beragam, menempatkan sistem pemikiran baru dalam ketegangan dan dalam dialog satu sama lain.’
Keterbukaan Buya Hamka terhadap berbagai produk pemikiran tidak terbatas pada tradisi intelektual Islam saja, tetapi juga pada tradisi-tradisi yang berasal dari luar dunia Islam. Sebagai contoh dalam bukunya yang berjudul Tasawuf Modern, ia melihat manfaat dalam tulisan-tulisan para filsuf Yunani seperti Plato dan Aristoteles. Dengan semangat keterbukaan inilah Hamka mengambil peran sebagai jembatan antara Dunia Muslim Melayu, dengan dunia Muslim yang lebih luas.
Unsur lain dari warisannya adalah advokasi untuk keadilan sosial bagi yang lemah dan rentan dalam masyarakat. Ia meyakini bahwa Islam adalah agama yang menjadi katalisator kemajuan dalam masyarakat, artinya memberikan dukungan material, spiritual, kesejahteraan, dan sosial, tanpa memandang ras dan agama.
Dalam bukunya Keadilan Sosial dalam Islam (h.26), Buya Hamka menulis bahwa, tujuan Islam bukanlah untuk membawa kebaikan bagi kehidupan satu kelompok saja, melainkan untuk membawa kebaikan bagi kehidupan semua orang. “Islam bukanlah milik umat Islam. Islam lahir dari wahyu Tuhan untuk kebaikan seluruh umat manusia” tulisnya. Dengan keyakinan bahwa Islam adalah agama untuk kemanusiaan, Buya Hamka juga membolehkan pemberian Zakat kepada non-Muslim, sebuah pemahaman yang bertentangan dengan pemikiran Islam arus utama pada masanya.
Warisan abadi Buya Hamka kepada generasi kita dan masa depan adalah kitab tafsirnya, tulisan-tulisan kolom, buku-buku agama, dan novel-novel karya sastra. Buya Hamka disebut-sebut sebagai sebagai Pujangga Surau, sebab pengaruhnya di bidang keagamaan, dan kemahirannya dalam menghasilkan sejumlah karya sastra.
Keunikan karya tulis beliau terletak pada keterikatan organiknya dengan masyarakat, serta rasa tanggung jawabnya untuk mengabdi kepada masyarakat. Buya Hamka menganggap pengabdian pada masyarakat sebagai bagian dari dakwah dan ibadahnya.
Buya Hamka adalah salah seorang pendorong reformasi spiritual. Karya Tafsirnya yang diberi nama Tafsir al-Azhar dan karya monumentalnya lainnya yang berjudul Tasawuf Modern adalah dua karya yang terhebatnya yang dikagumi masyarakat Muslim melayu hingga hari ini.
Melalui Tasawuf Modern ia berusaha mengaktualisasikan Tasawuf dalam konteks modern masyarakatnya. Dalam buku ini, pembaca akan melihat bahwa Buya Hamkah mengenalkan Tasawuf sebagai katalisator yang kuat untuk perubahan pribadi dan sosial.
Singkatnya, ada begitu banyak yang dapat digali dari warisan ulama kita terdahulu, di antaranya Buya Hamka. Menggali sejarah dan pemikiran Kiai dan ulama dengan niat mulia, akan membuat kita terinspirasi oleh keteladanan orang-orang pilihan ini. Meski sudah berpulang, karya-karya mereka masih hidup dan bermanfaat bagi kita dengan ilmu yang tak ternilai harganya. Kita harus menjaga sumur kebijaksanaan ini dengan terus mencari dan menemukan cara untuk membangunnya secara kreatif dan kritis.