Ramadhan selalu hadir dengan spirit berbagi. Nabi SAW adalah orang yang sangat dermawan, dan beliau lebih dermawan lagi di bulan Ramadhan. Rasa syukur, kecukupan rezeki, keberlimpahan, dan keringanan untuk memberi tidak bergantung pada jumlah harta yang dimiliki, melainkan lebih kepada pola pikir atau mentalitas. Tidak jarang, seseorang dihinggapi perasaan kekurangan harta, khawatir tidak memiliki kecukupan rezeki, takut tidak cukup, bukan karena kondisi kemiskinan dalam arti ‘tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar’, tetapi karena ‘kemiskinan’ yang berupa mentalitas. Itulah yang disini kita sebut ‘mental miskin’
Mental miskin mempengaruhi diri untuk berperilaku kikir, sulit berbagi, ingin selalu diberi, hingga mendorong perilaku korup. Kecemasan dalam urusan rezeki dialami oleh banyak orang, tidak terbatas hanya orang-orang fakir saja. Kekhawatiran akan kurangnya harta, nyatanya, merata di semua karangan, baik yang fakir, menengah, bahkan orang kaya sekalipun. Tidak heran, banyak orang yang hidup dalam limpahan harta, namun tetap merasa tidak tercukupi dan takut miskin. Di tengah Ramadhan ini misalnya, rasa takut kekurangan telah menyebabkan banyak orang memborong persediaan, menimbun barang, dan terus menerus memikirkan kebutuhan konsumsinya.
Takut akan ketidakpastian memang merupakan naluri manusia. Tetapi kita diajarkan untuk terus optimis dan berkeyakinan kuat terhadap rezeki. Hidup dengan mental miskin bertentangan dengan ajaran Islam.Tidak hanya karena menyebabkan sifat kikir dan tidak bersyukur, mindset miskin juga menghambat sifat kedermawanan yang sangat dijunjung Nabi SAW. Ragu terhadap janji Allah dalam urusan rezeki adalah penyakit yang berhubungan langsung dengan ketenangan batin dan spiritualitas. Islam mengajarkan mentalitas berkelimpahan, atau keyakinan bahwa rezeki akan selalu tercukupi sebab rezeki tidak terbatas sumber daya duniawi, melainkan datang dari Allah SWT.
Nabi SAW juga mengajarkan doa untuk memohon perlindungan dari kefakiran,
اللّهُـمَّ إِنّـي أَعـوذُبِكَ مِنَ الْكُـفر وَالفَـقْر
“Ya Allah sesungguhnya aku berlindung kepadamu dari kekufuran dan kefakiran”
(HR. Abu Dawud)
Melalui doa tersebut, Nabi SAW sebenarnya mengajarkan untuk mengobati dan merehabilitasi mental miskin atau kemiskinan di alam pikiran seseorang. Nabi Muhammad SAW selalu hidup dalam kefakiran jika dilihat dari sudut pandang harta, tetapi mentalitas dan pola pikir nabi mencerminkan bahwa beliau hidup dalam kelimpahan dan keberkahan rezeki. Rasulullah SAW tidak pernah kenyang selama dua hari berturut-turut, tidak pernah makan dengan dua lauk, mengikat perut dengan batu untuk menahan lapar, bahkan terkadang tidak memiliki makanan untuk sahur dan berbuka selain kurma dan air putih. Namun, walau begitu, Rasulullah SAW tidak pernah tersiksa dengan kemiskinan, bahkan dapat terus berbagi.
Itu artinya, kondisi kefakiran harta tidak serta merta membuat seseorang kekurangan dan terhimpit. Namun yang lebih membahayakan, sebagaimana yang dikhawatirkan Nabi SAW hingga beliau berdoa memohon perlindungan-Nya, adalah kefakiran yang membentuk mentalitas. mental miskin membuat orang berkecukupan merasa kurang, dan menimbulkan keraguan akan janji Allah yang menjamin rezeki setiap makhluk-Nya.
Untuk itulah Nabi SAW mengajarkan doa untuk memohon perlindungan dari kefakiran ini, bukan kefakiran harta, tetapi kefakiran dalam wujud mentalitas yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang terkait harta dan kekayaan. Habib Ali al-Jufri menjelaskan, “kefakiran yang dimohon perlindungannya kepada Allah SWT tidak mungkin karena kekurangan harta. Melainkan, menurut para ulama, berlindung dari penyakit takut fakir yang menghantui akalnya” (Wahai Murid, h. 351)
Nabi secara konsisten memberikan contoh perilaku anti-mental Miskin. Dalam suatu riwayat, seorang laki-laki datang kepada Nabi SAW dan beliau SAW memberinya kawanan domba. Ketika orang itu kembali ke kaumnya, dia berkata “Wahai kaumku! Peluklah Islam karena Muhammad memberi seperti orang yang tidak takut kemiskinan!” (HR. Muslim, dalam Riyadus Shalihin 522)
Singkatanya, kita harus membebaskan diri dari mental miskin yang berbahaya dan dapat menjerumuskan kita pada kekufuran. Bulan Ramadhan adalah momen yang cocok untuk meluruskan kembali mindset kita sebagai seorang Muslim yang yakin akan rezeki yang dijamin Allah SWT. Nabi SAW lebih dermawan di bulan Ramadhan, tidak heran masyarakat di negeri kita pun berlomba-lomba untuk menebarkan nilai kedermawanan sepanjang Ramadhan. Kita harus melatih Hati kita agar tidak terikat pada jumlah harta yang kita kumpulkan dan simpan. Tetapi pada nilai harta yang menjadi amal. Mari bagun mental kaya seperti Nabi SAW, buang jauh-jauh rasa takut kekurangan dan takut miskin di bulan Ramadhan ini.