Tafsir Al-Ma’arij 24-25: Memberi Tanpa Diminta

RecommendedTafsir Al-Ma'arij 24-25: Memberi Tanpa Diminta

Bagi setiap Muslim, sebagian dari harta yang dimilikinya adalah milik yang membutuhkan. Al-Quran mengajarkan kita untuk berbagi dengan orang yang membutuhkan, baik yang meminta maupun tidak. Kita diajarkan untuk memberi bukan hanya ketika diminta, tetapi juga ketika melihat orang yang membutuhkan, meskipun orang tersebut tidak meminta. Sebab, bisa jadi orang yang sedang membutuhkan itu sungkan, malu atau kesulitan dalam menyampaikan keadaannya. Allah SWT berfirman,

وَالَّذِيْنَ فِيْٓ اَمْوَالِهِمْ حَقٌّ مَّعْلُوْمٌۖ لِّلسَّاۤىِٕلِ وَالْمَحْرُوْمِ

dan orang-orang yang dalam hartanya disiapkan bagian tertentu, bagi orang (miskin) yang meminta dan yang tidak meminta (QS. Al-Ma’arij: 24-25)

Tafsir:

Renungan al-Quran ini menjelaskan bahwa seorang Muslim yang memiliki kemampuan untuk membantu orang lain, bertanggung jawab untuk mendatangi mereka yang membutuhkan, terlepas dari mereka meminta atau tidak. Hal itu harus dilakukan dengan kesadaran bahwa sebagian dari kelebihan harta mereka adalah hak yang harus dihibahkan untuk orang miskin dan yang membutuhkan. Karena dalam Islam, kedermawanan sejati bukanlah memberi saat diminta, tetapi memberi saat melihat ada yang membutuhkan.

حَقٌّ مَّعْلُوْمٌ  

Menurut para ulama Tafsir, haqqun ma’lum atau “hak yang ditentukan” ini, mengacu pada zakat wajib. Yaitu, pajak kekayaan atau sejumlah uang tertentu yang wajib diberikan kepada orang miskin atau orang yang membutuhkan. Hal demikian bukan karena kebajikan pemberi, tetapi semata-mata karena kewajiban yang telah ditetapkan, yakni dengan mengakui harta tersebut adalah hak (haqq) orang miskin dan fakir. Selain itu, mereka yang diberikan haqq ini akan menerimanya hati yang bersyukur, tanpa merasa berhutang. Dengan begitu, harga diri dan martabat mereka diakui.

لِّلسَّاۤىِٕلِ 

Al-Sa’il, secara harfiah berarti “orang yang meminta”, yakni seseorang yang meminta karena kebutuhan. Apakah dia meminta uang, makanan, pekerjaan, uluran tangan, atau sekadar pendengaran yang simpatik. Kita harus menawarkan mereka bantuan amal, baik sebagai kewajiban, atau sebagai tindakan kebaikan, dengan kata lain, kebutuhan mereka tidak boleh dibiarkan atau diabaikan.

Baca Juga  Buya Husein: Nalar Moderat Menciptakan Relasi Damai

الْمَحْرُوْمِ

Adapun al-Mahrum, secara harfiah berarti “orang yang terhalang”, dalam hal ini berarti orang yang terhalang untuk meminta. Mereka adalah orang-orang yang membutuhkan, tetapi tidak dapat meminta bantuan. Ketidakmampuan tersebut mungkin karena gengsi, rasa malu, atau karena rasa harga diri. Apapun kasusnya, mereka yang mampu harus peka terhadap orang yang membutuhkan untuk membantunya. 

Sumber: Tafsi Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Quran.

Selvina Adistia
Selvina Adistia
Redaktur Islamramah.co. | Pegiat literasi yang memiliki latar belakang studi di bidang Ilmu al-Quran dan Tafsir. Menuangkan perhatian besar pada masalah intoleransi, ekstremisme, politisasi agama, dan penafsiran agama yang bias gender.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.