Mengakrabi Mitos dan Lokalitas

KhazanahBukuMengakrabi Mitos dan Lokalitas

Kalau bukan kebanyakan, setidaknya saya, tumbuh dibersamai dengan narasi “percaya tidak percaya”, “katanya begini”, “konon begitu”. Beragam kisah seram bahkan absurd menjadi salah satu topik favorit untuk dipertukarkan dengan kawan-kawan “tongkrongan” masa kecil. Buku mini komik bergenre horor yang dijual pedagang mainan di sekolah dulu pun jadi salah satu jajanan favorit siswa. Saat ulang tahun entah ke berapa—yang pasti saya masih duduk di bangku SD—betapa girangnya ketika saya dihadiahi setengah lusin lebih mini komik horor bekas dari seorang teman. Rasanya seperti mendapat koleksi langka yang sarat khazanah. Isi ceritanya tak jauh-jauh dari wewe gombel, pocong, genderuwo, dan hantu-hantu lokal lainnya.

Meski tidak pernah mendapat kabar tentang validitas kisah-kisah tersebut, kami nyatanya tetap keranjingan dengan pengetahuan yang menganga semacam itu. Efek kejut dan corak misteri yang menantang nyali barangkali yang selalu jadi daya pikat, sehingga kami terus memutar ulang cerita-cerita beraroma mistis. Malah kadang berbumbu subyektivitas yang dilebih-lebihkan agar cerita kian menarik dan menjanjikan bagi pendengar.

Bergerak lebih nyata dan praktikal, dulu selepas mengaji, saya bersama  kawan-kawan seperguruan pernah mencoba permainan jailangkung. Pernah juga me-recreat acara TV bertajuk “uji nyali” dalam reality show Dunia Lain yang dipandu oleh host ikonik kala itu: Harry Pantja. Dalam acara tersebut peserta uji nyali ditantang berdiam diri sendirian di suatu tempat yang konon angker untuk mengamati dan ‘membuktikan’ nuansa mistisnya.

Tangkapan kamera kadang memerlihatkan peserta yang tampak ketakutan, berulang kali mengelus leher, berusaha berani, hingga ada yang katanya kesurupan. Jika sudah tak tahan, peserta bisa melambaikan tangan ke kamera sebagai tanda ingin menyudahi tantangannya. Dalam format serupa dan tentu tanpa kamera, kami bermain bergiliran menguji diri untuk berdiam diri di kebun sekitar rumah warga yang minim pencahayaan atau di mana pun yang dirasa sepi dan gelap. Barangkali sifat tak kasat mata dan menggantung dari mitos dan kegaiban itulah yang membuat kami selalu penasaran dan mengejarnya.

Buat saya, mitos dan kegaiban adalah bagian dari dinamika lokalitas yang turut meramaikan periode hidup. Dua isu tersebut—lokalitas dan mitos—diulas secara adil serta penuh empati oleh Titah AW dalam “Parade Hantu Siang Bolong”. Buku bergenre sosial-budaya ini merupakan kumpulan tulisan berbasis reportase jurnalistik mengenai dua isu tadi.

Meliput sesuatu menyangkut obyek yang sulit dibuktikan keberadaan dan kebenarannya tentu bukan barang mudah. Namun, pada jalan terjal itu Titah cerdik menemukan celah untuk menuliskannya dengan seksama, berkomitmen pada pengalaman, dan tanpa memunggungi panji jurnalisme. Ia peka dalam menangkap “what behind” serta tekun mengurainya.

Dalam tulisannya, tidak ada intensi ingin memecahkan misteri, atau mencoba membuktikan keberadaan apa-apa yang tak tampak. Lewat jurnalisme bertuturnya, Titah mampu secara arif memperjelas kedudukan hal berunsur mistis-gaib sebagai bagian dari realitas kompleks yang mengisi ruang-ruang kehidupan. Di tangan Titah, apa yang selama ini dipandang lekat dengan keterbelakangan atau hanya jadi bahan guyonan, berhasil dikemas secara spesial dan penuh keakraban.

Baca Juga  Meneladani Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari

Tulisan pertama berjudul “Pengalamanku Ikut Pesta Antar-Dimensi Bareng Roh Halus di Ebeg Banyumas” mencerminkan karakter dari berbagai karyanya yang bercorak realisme magis. Tradisi Ebeg yang di dalamnya menampilkan peristiwa kerasukan (wuru), bukan semata jingkrak-jingkrak liar dan atraksi tak jelas para remaja desa. Titah secara jeli menjelaskan, “Untuk anak-anak muda di desa pelosok Banyumas seperti Danu, wuru di Ebeg melunasi dua kebutuhan yang sulit mereka penuhi: eksistensi dan eskapisme”. Pembaca diajak untuk mengarifi hal-hal yang selama ini dinilai rendah dan seolah jauh dari peradaban karena tak berciri saintifik dan empirisme.

Buku ini secara lincah dan empatik membincangkan kegaiban yang bergandengan erat dengan lokalitas di tengah belantara dunia modern yang condong memuja materi dan menyisihkan hal-hal yang immateri serta tak kekinian. Apapun yang ditangkap inderanya dalam peliputan, dinarasikan oleh Titah sebagai sesuatu yang lazim untuk diterima dan diakui sebagai realitas masyarakat yang wajar. Kisah-kisah tersebut, tidak dibiarkannya menjadi cerita rakyat yang diremehkan pandangan perkotaan.

Secara subtil, Titah menuntun kita untuk lebih takzim pada perbedaan serta memarkir permanen superioritas terselubung seorang manusia modern. Mengakulah, barang sekali di benak kebanyakan kita, rasa-rasanya pernah terbersit perasaan lebih maju, lebih berperadaban ketimbang masyarakat daerah dengan dinamika lokal eksentriknya yang tak jarang bertumpu pada pandangan mistik dan tampak mempertontonkan absurditas.

Betapapun ganjil dan tidak kompatibel dengan sains, masyarakat beserta lokalitasnya adalah produsen pengetahuan. Kompleksitas hubungan antara manusia dan berbagai elemen dalam ruang hidup masing-masing itu menjadi pengetahuan yang telah merangkai identitas dan membangun definisi khas mereka. Berfungsi sebagai pilar eksistensi dan wadah bagi isi batin manusia di dalamnya. Tak hanya yang terlihat, apa yang tidak tampak juga merupakan pengetahuan. Kerangka modernitas telah berperan mendoktrin kita bahwa ilmu pengetahuan hanyalah apa yang bisa dibuktikan secara empiris.

Titah telah menyemarakkan apa yang seolah biasa dan kerap dituturkan sambil lalu. Satu-satunya ‘kekurangan’ hanyalah selipan harapan saya yang tidak terkabul untuk mendapat jawaban dari gelombang penasaran tentang perihal mistik. Sebab memang bukan “memecahkan misteri” yang jadi tujuan reportasenya. “Parade Hantu Siang Bolong” seperti rem bagi manusia kebanyakan yang tampaknya lebih sering congkak karena merasa paling berpengetahuan dan tertata. Wallahu a’lam. []

Khalilatul Azizah
Khalilatul Azizah
Redaktur Islamramah.co || Middle East Issues Enthusiast dengan latar belakang pendidikan di bidang Islamic Studies dan Hadis. Senang berliterasi, membahas persoalan sosial keagamaan, politisasi agama, moderasi, khazanah kenabian, juga pemikiran Islam.
Artikel Populer
Artikel Terkait

Leave a Reply

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.